HAK-HAK ATAS TANAH DAN KONFLIT PERTANAHAN MASA LALU, MASA
KINI SERTA MASA MENDATANG DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI TIMOR LOROSAE*
Oleh: Pedro de Sousa Xavier
I.
PENGANTAR
Timor Lorosae mengalami sejarah yang panjang dan
penuh dengan gejolak (KAnnex 1). Sebagai akibat dari
peperangan yang berkepanjangan hak atas tanah di Timor Lorosae jauh dari
perhatian pemerintah (kedua regim) (K Annex 2). Sengketa tanah yang timbul saat ini adalah memperhatikan
hal ini. Ketidakpastian pemilikan tanah menimbulkan persoalan tersendiri di
Timor Lorosae saat ini dan masa mendatang.
Masyarakat pedesaan, masih hidup dengan tradisi
leluhur mereka (K Annex 4). Hukum adatpun
beragam antara suku kemak (Patrilinial) dan Bunak (matrilinial). Demikian pula
mengenai Hukum Pertanahan Adat (K Annex 5). Secarik kertas yang membuktikan pemilikan tanah di Timor
Lorosae tidak pernah diurus secara tuntas.
Namun sedikit beruntung bagi masyarakat perkotaan
terutama di Dili, selama kurung waktu 500 tahun. Sampai dengan tahun 1975 tanah
yang telah terdaftar/mempunyai bukti pemilikan (Alvara) sekitar 2.709
bidang dan 24 tahun Pemerintah Indonesia 44.091 bidang tanah atau 46.800 (Nalle
1998:10) (K Annex 3) bidang tanah. Jumlah ini berarti 4.4% dari jumlah bidang
tanah yang dimiliki tiap kepala keluarga di Timor Lorosae186.743 (East Timor in Figure 1997:37) telah
mendapatkan status yang jelas.
Bukti pemilikan tanah (sertifikat/alvara)
sebagian besar telah hancur (dimusnahkan), bersama pemiliknya dan harta benda
tahun 1975 dan tahun 1999, yang tinggal saat ini adalah bukti penggarapan dan pengakuan
dari masyarakat yang jadi rebutan.
Regulasi No. 1 tahun 1999 memberikan mandat kepada
UNTAET untuk menanggani administrasi semua aset
bergerak dan tidak bergerak, milik pemerintah maupun umum yang ada di
Timor Lorosae yang ditinggalkan sesudah tanggal 30 Agustus 1999. Bagian Tanah
dan Benda Untaet mengalokasikan tanah/bangunan-bangunan tersebut kepada para
investor/swasta yang melakukan kegiatan bisnis di Timor Lorosae. Sekitar 250
bidang tanah telah dialokasikan dengan Temporary
Use Agreements (TUA).
Kabinet UNTAET tanggal 25 Oktober 2000 telah
memutuskan Bagian Tanah dan Benda tidak mendaftar hak tetapi hanya menerima
gugatan/claims atas tanah di Timor Lorosae dan pemberian hak secara final setelah
merdeka. Keputusan ini memperjelas tugas Land and Property di masa Transisi.
II. HAK-HAK ATAS TANAH
I Made Sandi menulis “ Seorang hanya bisa
menggunakan sebidang tanah kalau orang itu mempunyai HAK atas tanah tersebut.
Apa yang dinamakan “hak” atas tanah sebenarnya sebuah “pengakuan” dari
masyarakat yang kemudian dituangkan ke dalam secarik kertas sebagai bukti.
Tanah, yang dilekati hak orang tadi terus saja ditempatnya. Disinilah letak
keistimewaan dari sumber daya tanah, kalau dibandingkan dengan sumber daya alam
lainnya” (dikutip oleh Xavier :
1997:49)
A.
Hak
Atas Tanah menurut Hukum Portugis
·
Carta
da Lei tanggal 9 Mei 1901
Carta da Lei menetapkan bahwa “semua tanah di seberang lautan yang sampai
pada tanggal 11 Mei 1901 tidak termasuk pemilikan perseorangan (hak milik
perseorangan yang sah berdasarkan hukum Portugis dikuasai oleh Negara “(Soares, 1989). Peraturan ini semacam Domin Verklaring
Belanda di Indonesia yang bertujuan untuk mengambil tanah-tanah penduduk
pribumi. Produk hukum yang dikenal dengan nama Alvara Indigena bagi penduduk pribumi. Alvara ini dikemudian hari
telah dicabut (DL No. 719 tanggal 7 Mei
1966), namun hanya menimbulkan
kekecewaan dalam masyarakat dan sampai saat ini masih dipegang oleh
masyarakat dan dianggap sebagai bukti pemilikan.
·
Diploma
Legislativ Nomor 865 tahun 1971
Peraturan ini mengatur tentang Regulamento da Ocupacao e Conceicao de Terrenos
nas Provincias Ultramarinas yang merupakan Hukum Pertanahan yang berlaku
bagi Timor Lorosae sampai dengan okupasi Indonesia. Dasar Hukum Pertanahan di
Seberang Lautan.
Hak Atas Tanah[1]
Menurut Dl 865 Tahun 1971.
·
Direito
de Propriedade Perfeita, hak ini seperti eigendom bersifat mutlak, vertikal dan
langeng.
·
Direito
de Aforamento, hak untuk mengusahakan tanah pihak lain (tanah negara) untuk
tujuan tertentu atas dasar aforamento. Pemegang (Foreiro) membayar FORO,
setelah 40 tahun dapat jadi Hak Milik.
·
Direito
de Arendamento, hak ini timbul karena perjanjian sewa dengan jangka waktu
kurang dari 30 tahun digunakan untuk komersial dan peternakan.
·
Direito
de Ocupacao, hak ini seperti hak pakai/menempati, sewa jangka pendek kurang
dari 5 tahun (Direito temporaria) dalam proses menuju Aforamento. Asal dari
ocupasi tanh tertentu, adat.
·
Direito
por Venda. Hak ini semacam Hak Pengelolaan (HPL) terjadi karena jual beli untuk
perumahan (fundo)
B. Hak Hak Atas Masyarakat Hukum Adat[2]
Para pembuat Undang-Undang No. 5 tahun 1960
(lebih dikenal UUPA) telah menetapkan bahwa hukum adat tentang tanah merupakan
dasar bagi Hukun Agraria Indonesia/Hukum Tanah Nasional. Dirumuskan dalam pasal
5 UUPA menyatakan bahwa “ hukum agaria
yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak
bertentang …… “. Dalam hukum adat penguasaan
tertinggi adalah Hak Ulayat[3]
(Rai Nain[4]
(Reabu Bahabu[5]), subyek
Rai Nain adalah masyarakat hukum adat
baik teritorial (sucu) maupun
geneologis (familia, uma lisan ida, ahi
matan boot). Hubungan antara Hak Ulayat dan hak-hak perseorangan dan
UUPA (K Annex 5).
Timbulnya Hak
Perseorangan
Hak atas tanah timbul apabila seorang warga
persekutuan (ema rai nain dan non
persekutuan (ema rai seluk/ema lao rai)
dengan persetujuan) memberi tanda pada daerah tertentu (tara tara) selanjutnya tanah yang telah diberi tanda membuka tanah
(lere rai atau fila rai). Hubungan
selanjutnya tanah tadi diusahakan secara terus menerus akan lahir hak milik (rai ninian/aurea). Jika tanah yang telah
diusahakan dan ditanami ini kemudian ditinggal, pemilik yang membuka tanah
pertama mempunyai hak terdahulu (toos
fatin atau natar fatin). Hak terdahulu bagi kaum pribumi (persekutuan)
dapat diwariskan kepada ahli waris. Bagi warga non persekutuan hanya hak
menikmati hasil dari tanah (halo deit han
deit) (K Annex 4). Pola penguasaan
tanah seperti ini yang mengakibatkan terjadi ladang berpindah-pindah, setelah
tanami dan berkurang kesuburannya.
C. KEWAJIBAN PEMEGANG HAK ATAS TANAH
“ Hak atas tanah memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi
dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas menurut UU…..
“ (pasal 4 ayat(2) UUPA).
·
Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6)
·
Tiap
warganegara laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
hak serta mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi dirinya sendiri maupun
keluarganya (pasal 9 (2)).
·
Setiap
orang atau Badan Hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
pemerasan (pasal 10 (1)).
·
Memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah
kewajiban tiap orang, Badan Hukum atau Instansi yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah (ps 15).
Kewajiban
Pemegang Hak Atas Menurut Peraturan Lainnya
·
Setiap
orang mempunyai hak atas Lingkungan yang baik dan sehat. Dan setiap orang
berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan
dan pencemarannya. (UU No. 4 tahun1982).
·
Setiap
pemegang Hak Atas Tanah dan pengusahaan di perairan dalam wilayah sistim
penangga kehidupan, wajib menjaga kelangsungan fungsi lindung wilayah tersebut (UU No. 5 tahun 1990 Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistimnya)
·
Setiap
orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya
sebagai akibat adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (pasal
68 UU no 41 tahun 1999)
III.
KONFLIK TANAH DI TIMOR LOROSAE
Isu utama saat ini adalah penguasaan tanah,
sebagian besar tanah yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tahun 1975 dan
sesudah tanggal 30 Agustus 1999. Terjadi ocupasi tanah yang ditinggal oleh
pemiliknya akibat konflit/perang. Kondisi saat ini adalah secara fisik yang menguasai tanah. Ada
beberapa kategori/alasan penguasaan tanah saat ini:
1.
Tidak
punya rumah karena telah dibakar
2.
Masyarakat
yang ingin spekulasi untuk memperoleh tanah dan harta benda
3.
Sebagai
akibat proses pembangunan yang mengambil tanah masyarakat tanpa kompensasi yang layak kepada pemiliknya
4.
Penguasaan
tanah oleh sebuah regim adalah bertentang dengan HAM
5.
Penguasaan
tanah menurut hukum adat tidak mengenal warga asing
6.
Konsekwensi Perang, ada pihak
yang kalah dan ada pemenang.
Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang
dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi wewenang kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki
IV. TANAH DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Setiap kegiatan di muka bumi memerlukan tanah (K Annex 9). Tanah sebagai sumber daya perlu dipelihara serta dijaga
dari kerusakan sehingga ada keseimbangan.
Tanah adalah suatu “komoditi” yang bersifat unik dan
strategis, baik ditinjau dari segi penguasaan maupun penggunaannya. Dari segi
penguasaanya, selain memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik, tanah
juga mengandung nilai sakral bagi pemiliknya terutama masyarakat pedesaan,
sehingga persepsi masyarakat setempat sangat dipengaruhi adat setempat (Sony Harsono 1994:6).
Aspek fisik berupa luas, letak, ketinggian yang relatif
tidak berubah dalam kurun waktu bertahun-tahun (K Annex 8), yang berubah adalah cara
penggunaan tanahnya, produksinya yang relatif sangat berubah-ubah
adalah hak dan pemiliknya.
Aspek fisik dan aspek hukum bagaikan dua sisi dari
sebuah mata uang logam, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, harus
ditangani secara bersama-sama. Banyak masalah tanah yang timbul disebabkan penanganan yang tidak bersama
sebagai akibat ego sektoral
dalam rencana pembangunan.
Masalah tanah yang semakin dirasakan oleh instansi
pemerintah, masyarakat bahkan untuk kepentingan pembangunan adalah bagaimana dan dimana memperoleh tanah
sesuai untuk pembangunan.
V.
PENUTUP
1. Masalah tanah saat ini, adalah ketidakjelasan status tanahnya sebagai akibat pergantian sistim hukum. Keterpaduan terus diupayakan untuk dapat mewujudkan kepastian hukum di bidang pertanahan.
2. Jaminan akan tersedianya tanah yang sesuai bagi berbagai sektor pembangunan, sehingga dapat mendorong investasi dan sebesar-besarnya dalam rangka menunjang tercapainya pertumbuhan ekonomi.
3. Masalah pembangunan berkelanjutan tidak hanya keterpaduan antar instansi terkait akan diperlukan persepsi yang sama antar semua pihak, baik bidang eksekutip maupun yudikatif, karena masalah lingkungan dan pertanahan terkait.
4.
Pembangunan
meningkat, meningkat pula permintaan akan tanah yang dibutuhkan untuk
pembangunan. Dilihat dari penguasaan dan pemilikan tanah dilekati hak, supaya
tidak menimbulkan masalah, dan menghambat jalanya pembangunan, tidak lain
adalah mengadakan musyawarah dengan pemiliknya. Prinsip yang perlu diperhatikan:
·
Sejauh
tidak mengurangi areal tanah pertanian yang subur dan memperhatikan kelestarian
sumber daya alam.
· Keseimbangan kepentingan antara pemilik modal dan kepentingan yang mereka terkena proyek.
BIBLIOGRAFI
1. Bhumi Bhakti, 1994. Majalah Badan Pertanahan Nasional, No. 07/1994
2. Boedi Harsono, SH, Prof. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan.
3. Boedi Harsono,
SH, Prof. 1999. Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jilid 1, Hukum Tanah Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Djambatan.
4. Hicks, David, 1976. Roh Orang Tetum di Timor Timur, Terjemahan dari Tetum Chost and Kin, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
5. Soares, Domingos M. Dores, 1989. Hukum Agraria Portugis dan UUPA, Tanpa Penerbit, Dili
6. Soesangobang, Herman, 1998. Kontekstualisasi Adat dan Penerapannya setelah UU No. 5/1960 serta Advokasi Pertanahan di Indonesia, makalah disajikan sebagai abahan diskusi pada AKATIGA-Bandung tanggal 21 Februari 1998
7. Xavier, Pedro de Sousa, 1997. Study tentang Hukum Pertanahan Adat Timor Timur di Kecamatan Uato-Carbau Kabupaten Viqueque, Skripsi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta
8. Nalle, Jermias, 1998. Pengarahan Kakanwil pada Rapat Kerja di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Propinsi Timor Timur, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Timor Timur, Dili.
9.
, 1997. East Timor in Figures, in
Coorperation With Regional Development Planning Board of East Timor Propince
and Central Board of Statistics of East Timor Province, Dili.
* Makalah disampaikan pada
Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Timor Lorosae, tanggal 25 januari – 31
Januari 2001 di Dili.
[1] Baca : Soares 1989, PP 18 tahun 1991 tentang Konversi Hak Atas Tanah di Timor Lorosae dan PP 34 tahun 1992 tentang Penudaan Pasal 5 (bagi WNA) PP 18 tahun 199.
[2] Boedi Harsono, SH, Prof.
2000. Hukum Agraria Indonesia,
Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta,
Djambatan.
[3] Baca : Vollenhoven(1928), Terhar (1951)
[4] Baca : David Hikcs (1976),
Soares (1989), BPHN (1994)
[5] Saya menyebutkan reabu bahabu dalam bahasa Makaduka (Naueti)